Penyakit leptospirosis pada manusia

nurcahyo

New member
Penyakit leptospirosis pada manusia


Dr Widodo Judarwanto SpA

Salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir adalah leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan. Lebih tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.

Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam Canicola, penyakit Swineherd, demam rawa atau demam lumpur.

Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan serotipe. Bakteri leptospira bisa terdapat di genangan air saat iklim panas dan terkontaminasi oleh urin hewan. Leptospirosis dapat menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah, atau saat air konsumsi sehari-hari tercemar oleh urin hewan.

Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi ?underdiagnosis? atau misdiagnosis. Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.


Etiologi

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik.

Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.

Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.

Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.


Epidemiologi

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)

Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.

Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.

Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.

Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita ?immunocompromised? mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.

Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi

Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting.

Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.

Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.


Patofisiologi dan Patogenesa

Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.

Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus.

Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal.

Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi sel-sel hati.

Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema (bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat ?disseminated vasculitic syndrome? akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler.

Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang.

Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat mengakibatkan ?secondary end-organ injury?.


Manifestasi Klinis

Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan serologi positif.

Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar 5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil.

Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3 hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan.

Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke-2. Fase awal tahap ini dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.

Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.

Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.

Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon dengan pemberian analgesik.

Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium (tidak waras, kegilaan) juga didapatkan pada tanda awal meningitis, Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan dementia.

Gangguan anikterik dapat dijumpai meningitis aseptik adalah sindrom manifestasi klinis yang paling penting didapatkan pada fase anikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Palsi saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang didapatkan.

Meningitis bisa terjadi apada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada minggu pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik. Gangguan ikterik : leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%, hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia.

Uveitis terjadi pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal penyakit timbul. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akanan menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3 minggu hingga 1 bulan setelah paparan.

Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada 92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul.

Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa manifestasi sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan pada 83% penderita dengan infeksi L icterohaemorrhagiae and 30% pada L pomona. Rash eritematous pretibial sering didaptkan pada infeksi L autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi dengan L grippotyphosa. Aseptic meningitis seringkali terjadi pada infeksi L pomona atau L canicola.

Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi keadaan bisa memburuk setiap waktu. Kriteria keadaan masuk dalam penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik.

Manifestasi paru meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus berat lebih mudah terjadi gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular.

Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguri atau anuri pada nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu ke dua sehingga terjadi hipovolemi dan menurunya perfusi ginjal.

Sering juga didapatkan gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miocarditis, dan pericarditis. Sindrom Weil mengakibatkan 5-10%. Sebagian besar kasus berat sindrom dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Angka mortalitas juga akan meningkat pada usia lanjut usia.

Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Juga dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau ?fever of unknown origin?. Leptospirosis dapat dicurigai bila didapatkan penderita dengan flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada penderita berbeda tergantung berat ringannya penyakit dan waktu dari onset timbulnya gejala. Tampilan klinis secara umum dengan gejala pada beberapa spektrum mulai dari yang ringan hingga pada keadaan toksis.

Pada fase awal pemeriksaan fisik yang sering didapatkan adalah demam seringkali tinggi sekitar 40oC disertai takikardi. Subkonjuntival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau ?rash? perdarahan juga didapatkan pada fase awal penyakit.

Pada fase kedua manifestasi klinis yang ditemukan sesuai organ yang terganggu. Gejala umum yang didaptkan adalah adenopathy, rash, demam, perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru didapatkan batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan.

Manifestasi neurologi didapatkan palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan demensia.

Pemeriksaan mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi yang ditemukan adalah perdarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali. Kelainan jantung dijumpai tanda dari kongestif gagal jantung atau perikarditis.


Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui sejauh mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.

1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek
2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut.
3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 1-2 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test(MAT).
4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.




Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita yang dicurigai leptospirosis, selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin untuk mengetehaui komplikasi dan keterlibatan beberapa organ tubuh. Pemeriksaan kadar darah lengkap (complete blood count-CBC) sangat penting.

Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum kreatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit Weil.

Peningkatan serum bilirubin dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Agak jarang terjadi peningkatan Hepatocellular transaminases dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum kreatin kinase (MM fraction) sering meningkat pada gangguan otot.

Analisis CSF bermanfaat hanya untuk melakukan eksklusi penyebab meningitis bakteri. Leptospires dapat diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak akan merubah tatalaksana penyakit.

Pemeriksaan pencitraan yang didapatkan adalah kelainan pada foto polos paru berupa air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru yang didapatkan miokarditis. Perdarahan alveolar dari kapilaritis paru dan ?patchy infiltrate multiple? yang dapat ditemukan pada parenkim paru. Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus.

Pemeriksaan histologis beberapa saat setelah inokulasi dan selama periode inkubasi leptospira melakukan replikasi aktif di hati. Perwarnaan silver staining dan immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrat inflamasi.


Diagnosis Banding

* Dengue Fever
* Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
* Hepatitis
* Malaria
* Meningitis
* Mononucleosis, influenza
* Enteric fever
* Rickettsial disease
* Encephalitis
* Primary HIV infection



Tatalaksana

Terapi antimikrobial adalah pengobatan yang utama pada leptospirosis. Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama.

Penelitian terakhir menunjukkan sefalosporin sama efektifnya dengan doksisiklin dan penisillin pada pengobatan fase akut. Eritromisin digunakan pada kasus kehamilan yang alergi terhadap penisillin sedangkan amoksisilin adalah terapi alternatif.

Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. In addition to antimicrobials, therapy is supportive. Tatalaksana penderita yang paling penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak.

Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia bila terjadi gangguan pernapasan berat.

Pengawasan jantung secara terus menerus (continuous cardiac monitoring) untuk memantau keadaan yang dapat timbul seperti takikardia ventrikular (frekuensi denyut jantung yang berlebihan), kontraksi ventrikel prematur (premature ventricular contractions), fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.


Pencegahan

* Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan air atau lahan yang dicemari kuman. Orang yang berisiko tinggi infeksi harus memakai sarung tangan, baju dan kacamata pelindung. Harus memperhatikan secara ketat kebersihan dan sanitasi lingkungan seperti kontrol hewan pengerat seperti tikus, dekontaminasi infeksi
* Penggunaan vaksinasi pada hewan dan manusia masih kontroversi.
* Kemoprofilaksis menunjukkan hasil yang efektif pada manusia dengan risiko tinggi seperti anggota militer atau wisatawan yang berkunjung di daerah endemik. Pemberian doksisiklin 250 mg peroral sekali seminggu, menunjukkan efikasi yang sangat baik. Tetapi pencegahan ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang.




Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi tergantung dari perjalanan penyakit dan pengobatannya. Prognosis penderita dengan infeksi ringan sangat baik tetapi kasus yang lebih berat seringkali lebih buruk.
 
hi, aq dian dr fakultas peternakan UNHAS. tulisan kamu berguna bgt, sering-sering ya bagi pengetahuan ma orang-orang.!!!!!!!
 
Back
Top