Kisah Para Wali

ak4037

New member
BATARA KATONG

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan benerasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ?protes? dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian ?desersi? untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus ?kejayaan? Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ?investigasi? terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ?putra terbaiknya? yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ?akal cerdasnya? Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ?iming-imingi? akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang ?dimanfaatkan? Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah ?dihilangkannya? Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ?ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 ?aka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 ?aka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai ?totems?, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari ?alam bawah sadar? masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam ?hiperealitas?, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ?ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
 
WALI JOKO

Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya adalah kakak-beradik dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Wali Joko yang di saat mudanya bernama Pangeran Panggung, merupakan putra bungsu Prabu Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum, seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau Thailand saat ini).

Berdasarkan penelusuran sejarah yang berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Wali Joko masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana, Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Kian.

Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama'ah.

Sekitar tahun 1500 Masehi, atau tepatnya 1210 H, Pangeran Panggung mendirikan sebuah masjid di Kendal. Pangeran Panggung datang dan mendirikan masjid di daerah Kendal, setelah melewati pengembaraan yang cukup panjang. Pengembaraan yang harus dilakukan, setelah kerajaannya, yaitu Majapahit, runtuh karena diserang pasukan Prabu Girindra Wardhana dari Kediri.

Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.

Kini, masjid peninggalan Wali Joko tersebut dikenal dengan Masjid Agung. Seiring berjalannya waktu, masjid yang berdiri ''gagah'' di pusat Kota Kendal ini telah mengalami delapan kali renovasi. Di sisi lain, tidak banyak benda-benda peninggalan yang dapat ditemui di masjid itu.

Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.

Di kompleks berdirinya masjid yang saat ini sedang dibangun sebuah menara dengan tinggi 45 meter. Adanya makam di kompleks masjid, pada awalnya adalah rumah Wali Joko. Selain makam Wali Joko yang berada di depan sebelah selatan Masjid Agung Kendal, di belakang masjid juga terdapat dua makam ulama lainnya, yaitu makam Kiai Abu Sujak yang di era 1800-an adalah penghulu pertama Masjid Agung Kendal dan makam Wali Hadi yang meninggal pada 1930.

Tradisi peninggalan Wali Joko yang masih dapat ditemui di Masjid Agung Kendal, salah satunya ialah membuat tradisi buka bersama dan juga Kegiatan Tadarus di bulan Ramadan serta menggelar pengajian Kitab Kuning (kitab yang berisi uraian dan penjabaran para ulama yang bersumber dari Alquran dan Hadis.
 
SYEKH MAGELUNG SAKTI

Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.

Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).

Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.

Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di Cirebon.

Konon, Syarif Syam datang di pantai utara Cirebon mencari seorang guru seperti yang pernah ditunjukkan dalam tabirnya, yaitu salah seorang waliyullah di Cirebon. Dan di sinilah ia bertemu dengan seorang tua yang sanggup dengan mudahnya memotong rambut panjangnya itu. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif Syam pun dengan gembira kemudian menjadi murid dari Sunan Gunung Jati, dan namanya pun berubah menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberinama Karanggetas.

Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Syarif Syam alias Syekh Magelung Sakti diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia pun kemudian tinggal di Karangkendal, Kapetakan, sekitar 19 km sebelah utara Cirebon, hingga kemudian wafat dan dimakamkan di sana hingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Pangeran Karangkendal.

Sesuai cerita yang berkembang di tengah masyarakat atau orang-orang tua tempo dulu, pada masa lalu Syekh Magelung Sakti menundukkan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Indramayu, sehingga anak buah Ki Tarsana tersebut yang berupa makhluk halus pun turut takluk. Namun, makhluk gaib melalui Ki Tersana meminta syarat agar setiap tahunnya diberi makan berupa sesajen rujak wuni. Dari cerita inilah selanjutnya, tradisi menyerahkan sesajen daging mentah tersebut berlangsung setiap tahun di Karangkendal.

Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.

Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.

Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.

Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.

Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.

Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati.

Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.

Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.

Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.

Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga sebagai Nyi Mas Panguragan.
 
FATAHILLAH

Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta", yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan. Ada pun nama Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah, yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah.

Ada beberapa pendapat tentang asal Fatahillah. Satu pendapat mengatakan ia berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian bersamaan dengan datangnya Bangsa Portugis di Malaka ia pun lalu ke tanah Jawa, atau Demak tepatnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya lagi mengatakan Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa.

Namun sebenarnya, Fatahillah yang bernama lahir Fadilah Khan murni tidak berasal dari Nusantara. Beliau pernah ikut berperang bersama pasukan Turki untuk menduduki Konstantinopel. Setelah pendudukan Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul, beliau diundang untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak. Ia diundang agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak untuk menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki tekhnologi pembuatan meriam.

Ada sumber sejarah yang mengatakan sebenarnya ia lahir di Asia Tengah (kemungkinan di Samarqand), menimba ilmu ke Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kesultanan Demak.


Sunan Gunung Jati = Fatahillah?

Sunan Gunung Jati berbeda dengan Fatahillah. Sunan Gunung Jati adalah seorang Ulama Besar dan Muballigh yang lahir turun-temurun dari para Ulama keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah, putra Syarif Abdullah Maulana Huda, putra Nurul Alam, putra Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Champa (pinggir delta Mekkong, Kamboja sekarang) sebagai markas besar. Salah seorang putra Syekh Jamaluddin Akbar (atau lebih dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayahanda Sunan Ampel).

Bakat kerohanian dan kepemimpinan Syekh Mawlana Akbar tampak jelas turun ke dalam diri Sunan Gunung Jati. Sehingga bagi kaum sufi Sunan Gunung Jati adalah pemimpin spiritual hingga kini untuk wilayah nusantara, sedangkan bagi sejarawan Sunan Gunung Jati adalah peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.

Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Perang Pasai, yang bernama asli Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, beliau hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak I).

Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam Bab Surawisesa, Fadhlullah Khan dinyatakan masih berkerabat dengan Walisongo, karena kakek buyut beliau Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayahanda Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat. Ia dinyatakan sebagai putra dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim atau Zainal Alam Barakat.

Beliau disebutkan pula sempat berguru kepada seorang ulama besar Aceh pada waktu itu, Syekh Abdul Rauf Singkel bin Ali al-Fansury atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala. Dan ketika beliau menginjak dewasa, oleh sang Guru Fatahillah diperintahkan untuk pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agamanya selama tiga tahun.

Sekembalinya dari Makkah, beliau mengetahui bahwa Bangsa Portugis telah menguasai Malaka, untuk itu beliau kemudian sempat memimpin pasukan Pasai menggempur pertahanan Portugis di Malaka pada tahun 1511. Namun, kemudian beliau datang ke Demak untuk meminta bantuan, dan tentu saja diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Trenggana, penguasa Kesultanan Demak pada waktu itu.

Ada 2 kemungkinan datangnya Fadhlullah Khan dari Pasai. Kemungkinan Pertama beliau sudah menjadi anak buah Pati Unus dan bergabung dengan pelarian Malaka ketika Pati Unus memimpin armada Islam tanah Jawa menyerang Malaka pada tahun 1513 dan 1521, tetapi beliau termasuk yang selamat dalam perang besar tahun 1521 (seperti Raden Abdullah putra Pati Unus), setelah Armada Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan.

Kemungkinan ke 2 adalah, beliau tidak ikut perang Malaka pada tahun 1513 dan 1521, tapi sudah hijrah lebih dulu ke tanah Jawa setelah jatuhnya Pasai pada tahun 1512. 9 tahun kemudian beliau diangkat oleh Sunan Gunung Jati menggantikan Pati Unus yang gugur setelah dinikahkan dengan Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati yang ditinggal Pati Unus.

Dari analisa tersebut di atas kemudian mengkompromikan 2 kemungkinan yakni setelah jatuhnya Malaka (1511) kemudian Pasai (1512), bisa dikatakan seluruh tokoh besar dan para Panglima Muslim dari Pasai dan Malaka yang selamat kemudian hijrah ke tanah Jawa sebagai satu-satunya basis Kerajaan Islam yang masih eksis (di Asia Tenggara) dan sangat aneh bila kemudian tidak ikut bergabung dengan Armada Islam tanah Jawa pimpinan Pati Unus dalam ekspedisi 1521 yang sangat besar, selain karena dendam yang belum terlampiaskan terhadap Portugis, juga para Tokoh dan Panglima Pasai dan Malaka (yang dalam pengasingan di tanah Jawa) bila tak ikut kewajiban Jihad pasti akan dikucilkan.

Di Demak dan Cirebon, Fadhullah Khan mendapat gelar sebagai Wong Agung Pasai, sedangkan di Banten beliau mendapat gelar Tubagus Pasai.

Ketika Pati Unus gugur dalam perang laut dahsyat untuk merebut kembali Malaka dari tangan Portugis, Fadhullah Khan diangkat oleh Sunan Gunung Jati menggantikan Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam di tanah Jawa.

Kegagalan ekspedisi Malaka (1521) membuat kesultanan-kesultanan Islam di tanah Jawa mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk datang. Sehingga Bulan Juni 1527, Portugis yang telah merasa di atas angin mencoba menerobos Sunda Kelapa, langsung diluluhlantakkan oleh armada Islam dibawah pimpinan Fatahillah, kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut Jakarta. Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi gelar baru yaitu Fatahillah (yang berarti Kemenangan Allah SWT).

Fatahillah juga berperan sangat besar pada penaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai oleh seorang raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama, dengan rajanya yang bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tetapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Setelah kemenangan demi kemenangan diraih, Fadhullah Khan diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Kesultanan Cirebon, sedangkan kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, yaitu Tubagus Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke, tampuk pemerintahan diserahkan kepada putra beliau yaitu Pangeran Jayakarta yang kemudian pada tahun 1619, karena kalah dalam konflik dengan VOC, meninggalkan Jayakarta yang sebelumnya dibumi hanguskan terlebih dahulu.

Fadhullah Khan kemudian menjadi pemegang jabatan/penjabat raja karena ketiga putra Syarif Hidayatullah yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana, meninggal sebelum sempat naik tahta. Sedangkan Pangeran Hasanudin telah naik tahta sebagai sultan Banten. Fadhullah Khan sendiri sebelumnya telah ditunjuk menjadi wakil sultan, saat Sunan Gunung Jati sibuk berdakwah. Dan ia juga ditunjuk sebagai pelindung Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean yang sebelumnya akan diangkat menjadi pengganti Sunan Gunung Jati. Namun Pangeran Dipati Carbon juga meninggal sebelum sempat naik tahta.

Fadhullah Khan, setelah kematian Sunan Gunung Jati, hanya memerintah selama 2 tahun atas nama Pangeran Dipati Carbon sebelum kemudian meninggal pada tahun 1570, oleh karena itu namanya tidak disebut sebagai raja Cirebon dalam silsilah resmi raja-raja Cirebon, justru Pangeran Dipati Carbon yang disebut. Apalagi Fadhullah Khan hanya menantu dan sekedar penjabat raja.

Dari pernikahannya dengan Ratu Ayu, lahirlah Ratu Nawati Rarasa yang kemudian menikah dengan putra Pangeran Pasarean, Dipati Pakungja atau Dipati Ingkang Seda Ing Kemuning, yang kemudian memiliki anak bernama Pangeran Agung Pakung Raja, yang setelah wafatnya Sunan Gunung Jati menjadi penerus kepemimpinan di Cirebon.

Fadhullah Khan sebelum menikahi Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati yang menjadi janda akibat meninggalnya Pati Unus. Sebelumnya ia menikah dengan Ratu Pembayun putri Sultan Trenggana, yang juga menjadi janda dari Pangeran Jayakelana.
 
widiiiiiih..... makasih banget, kebetulan adik saya ada Pr buat cerita para wali. tambahin dun Tuan

stars is sended Tuan @-->
 
SYEKH BELA BELU

Babad Demak menyebutkan bahwa setelah Majapahit runtuh karena serangan Demak, banyak putra-putri keturunan Brawijaya yang mengungsi menyelamatkan diri. Salah satunya ialah Raden Dhandhun, putra Prabu Brawijaya dari selir.

Dalam usia yang masih terbilang muda, Raden Dhandhun terpisah dari keluarganya, keluar masuk hutan, mendaki gunung, menuruni jurang, terlunta-lunta tak jelas arah tujuannya.

Hingga pada suatu ketika Raden Dhandhun tiba di Desa Mancingan, Yogyakarta. Pada waktu itu, di Mancingan ada seorang pendeta Budha (Hindu?) yang sangat mumpuni ilmu agamanya dan bernama Kyai Selaening. Oleh sang pendeta, Raden Dhandhun diganti namanya menjadi Kyai Bela-belu untuk keperluan penyamaran identitas.

Beliau diperintahkan untuk ke puncak gunung sebelah barat Gunung Sentana yaitu setelah Gunung Bantheng. Kyai Bela Belu ini sejak tiba sudah terlihat kalau ia rajin melakukan tapa. Ia biasa tidak tidur hingga tiga sampai empat hari. Tetapi, Raden Dhandhun tidak kuat menahan lapar, sebentar-sebentar ia harus makan. Sebab, tiap hari ia biasa makan tiga sampai empat kali. Kesukaannya adalah nasi ayam liwet yaitu nasi yang dimasak menggunakan santan kelapa dan dalamnya diisi dengan daging ayam.

Karenanya, kemudian Kyai Selaening meminta Raden Dhandhun untuk mencuci beras di Sungai Beji, sebelah utara Parangendhog, kira-kira 5 km dari Gunung Bantheng. Dengan cara seperti itu nafsu makannya dapat dikurangi menjadi sekali dalam sehari.

Saking gemarnya melakukan ulah batin, Kyai Bela Belu pun kemudian memperoleh kelebihan yang bisa digunakan untuk menolong warga desa sekitarnya. Karena itu, sampai makamnya saja hingga kini masih dianggap keramat. Setelah Kyai Selaening masuk Islam, Kyai Bela Belu juga ikut pula masuk Islam. Oleh Syekh Maulana, Kyai Bela Belu diberikan sebutan sebagai Syekh yang berarti sang guru, meskipun beliau adalah seorang putra raja.

Babad tidak menyebutkan apakah Kyai Bela Belu itu menikah atau tidak. Sebab tidak ada orang yang mengaku sebagai keturunannya Syekh Bela Belu. Bahkan setelah wafat pun tidak ada yang tahu dimana makam beliau yang sesungguhnya. Tetapi yang pasti, makamnya terdapat di sebelah barat Gunung Sentana. Letak makam Syekh Bela Belu baru ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IV sewaktu ia berkuasa.

Seperti yang disebutkan oleh R. Ng. Djadjalana dalam Bab Pesanggrahan Parangtritis tahun 1933. Disebutkan sekitar tahun 1830 di Grogol (sebelah utara Parangtritis) ada seorang sesepuh desa yang juga menjabat sebagai Demang Pemajegan (Pemaosan) yang masih merupakan keturunan dari Kyai Selaening dan sering melakukan tapa. Pada suatu malam tatkala Demang Pemajegan pergi ke Segara Kidul (Laut Selatan), ia melihat cahaya rembulan yang tampak dari balik Gunung Sentana dan jatuh di Gunung Bantheng. Di lain hari lagi, ia melihat cahaya seperti tugu yang terus amblas di Gunung Bantheng. Kejadian ini dialami berkali-kali. Kemudian Lama-lama tempat jatuhnya cahaya di Gunung Bantheng ini ditandainya dengan tanda dari kayu.

Kejadian ini kemudian diceritakannya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IV sekalian memohon izin untuk menggali dasar dari patok makam, siapa tahu diketemukan benda-benda yang aneh. Setelah disetujui, dilakukanlah penggalian. Pada saat itu ditemukan obyek berupa empat buah batu hitam yang berjejeran, dua di utara dan dua di selatan. Seperti makam yang berdampingan tetapi tanpa nisan yang membedakannya.

Di dekatnya ditemukan sebuah lempengan batu hitam bergambar ?ilir? (semacam kipas dari anyaman bamboo) dan ?iyan? (semacam tampah yang juga terbuat dari anyaman bamboo). Dimana ?iyan? dan ?ilir? adalah alat untuk mendinginkan nasi, yakni setelah nasi ?diler? di tampah barulah dikipasi dengan kipas tadi.

Kejadian atas temuan inipun kemudian diberitahukan kepada Sri Sultan. Dan dilihat dari diketemukannya gambar ?ilir? dan ?iyan?, Sri Sultan pun kemudian menetapkan bahwa kuburan itu adalah makamnya Syeh Bela Belu. Sedangkan yang di sebelahnya adalah makam adiknya Kyai Dami (Gagang) Aking, yang juga terkenal akan tapa tanpa henti hingga lupa akan makan dan minum.

Karena kesungguhan Syekh Bela Belu dan juga Kyai Gagang Aking dalam melakukan tapa, maka keduanya kemudian bisa mencapai apa yang dicita-citakan, yaitu ?pencerahan?.

Kemudian atas perintah Sri Sultan pulalah makam di Gunung Bantheng ini kemudian dicungkup kayu jati. Bagian luarnya dilapisi menggunakan batu hitam dan atasnya dilangse. Kini, makam dijaga oleh abdi dalem keraton yang juga adalah penjaga makam dari Syekh Maulana.

Selain kisah di atas, Syekh Bela Belu serta adiknya Syekh Dami Aking juga diyakini sebagai murid dari Sunan Kalijaga, yang diperintahkan untuk melakukan tapa di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Pertapaan Lemah Putih, yang sangat melegenda di daerah Nganjuk, Jawa Timur.
 
KI AGENG GRIBIG

Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno, merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.

Namun menurut Buku Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962 terbitan Departemen Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribig masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulana Ishaq, yang berputra Maulana ?Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig. Jadi jika ditarik kesimpulan, KH Achmad Dahlan yang bernama lahir Muhammad Darwis pendiri Muhammadiyah itu masih keturunannya Ki Ageng Gribig.

Dakwah Ki Ageng Gribig sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu dan Budha. Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta. Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga masyarakat yang pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.

Ki Ageng Gribig juga termasuk ke dalam tokoh yang berpengaruh, karena dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram. Ki Ageng Gribig berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin ?mbalela? kepada Mataram tanpa melalui pertumpahan darah. Oleh karenanya, kemudian Sultan Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka. Namun, Ki Ageng Gribig tidak bersedia dan lebih memilih menjadi ulama dari pada jadi pejabat.

Meskipun menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahkan semakin dekat. Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom.

Mesjid Alit, mesjid pertama yang dibangun di Jatinom, adalah buah tangannya. Dan bahkan selang tak lama kemudian, atas perintah Sultan Agung, Ki Ageng Gribig mendirikan mesjid baru yang jauh lebih besar. Mesjid yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Alit ini diberi nama Mesjid Besar Jatinom.

Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan.

Gua Suran letaknya tak jauh dari Mesjid Besar Jatinom. Gua ini, dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig. Konon, ular dan macan menjadi penjaganya, saat ia bersemedi. Meski berbentuk terowongan, Gua Suran ini tidak terlalu dalam, bahkan lebarnya hanya selebar tubuh manusia. Tingginya, memaksa orang yang masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua. Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.

Sementara Gua Belan, yang letaknya di sebelah timur Gua Suran, juga merupakan tempat bersemedi Ki Ageng Gribig, yang terkadang dijadikan tempat bertemu dengan Sultan Agung.

Disebut-sebut, ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke Makkah al-Mukarromah, dalam waktu singkat, bak orang melempar batu. Sehingga hampir setiap hari, ia dapat pergi ke Tanah Suci, dan kembali ke kampungnya. Suatu hal yang mustahil di zaman itu dan saat ini.

Suatu Jum?at di Bulan Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar), Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci. Ia membawa oleh-oleh, 3 buah penganan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai. Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis.

Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan mendapatkannya. Sambil menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan, Berilah Kekuatan" atau bisa juga berarti "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)". Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap: ?Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin?. Yang Artinya, ?Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin. Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimin?.

Penganan ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan", yang bermakna Ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta.

Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 ?aka, Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini. Ia pun mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan. Amanat inilah yang mentradisi hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan "Yaqowiyu".

Sebutan Ki Ageng Gribig melekat pada diri beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng Gribig untuk tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).

Makam Ki Ageng Gribig dibuat dari batu merah dan kayu, terletak di Dukuh Jatinom, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, yang berjarak ? 9 km dari kota Klaten, Jawa Tengah.

Versi lain tentang Ki Ageng Gribig juga terdapat di Malang, Jawa Timur. Hanya saja Ki Ageng Gribig ini disebutkan sebagai putra dari Pengeran Kedawung yang juga salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo. Lembu Niroto sendiri adalah putra ketiga dari Raja Brawijaya XI yang memerintah Majapahit pada 1466-1478. Jadi Ki Ageng Gribig itu cicit Raja Brawijaya XI.

Ki Ageng Gribig ini konon disebut-sebut sebagai salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga yang ada di Malang. Tak heran jika Ki Ageng Gribig menjadi salah seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1650.

Makam Ki Ageng Gribig ini kini terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gg. II, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Makam seluas satu hektar itu berada persis di sebelah sebuah masjid yang berdiri di jalan itu yang juga bernama Masjid Ki Ageng Gribig.

Di antara susunan batu nisan dan bangunan kijing yang ada di kompleks makam terdapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter di sisi barat. Berbeda dengan bangunan lain, dua pintu yang menghadap utara selalu tertutup rapat. Bahkan digembok dari luar. Di dalam bangunan itu terdapat dua buah makam. Itulah makam Ki Ageng Gribig dan istrinya.
 
KI AGENG GRIBIG

Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno, merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.

Namun menurut Buku Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962 terbitan Departemen Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribig masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulana Ishaq, yang berputra Maulana ?Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig. Jadi jika ditarik kesimpulan, KH Achmad Dahlan yang bernama lahir Muhammad Darwis pendiri Muhammadiyah itu masih keturunannya Ki Ageng Gribig.

Dakwah Ki Ageng Gribig sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu dan Budha. Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta. Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga masyarakat yang pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.

Ki Ageng Gribig juga termasuk ke dalam tokoh yang berpengaruh, karena dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram. Ki Ageng Gribig berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin ?mbalela? kepada Mataram tanpa melalui pertumpahan darah. Oleh karenanya, kemudian Sultan Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka. Namun, Ki Ageng Gribig tidak bersedia dan lebih memilih menjadi ulama dari pada jadi pejabat.

Meskipun menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahkan semakin dekat. Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom.

Mesjid Alit, mesjid pertama yang dibangun di Jatinom, adalah buah tangannya. Dan bahkan selang tak lama kemudian, atas perintah Sultan Agung, Ki Ageng Gribig mendirikan mesjid baru yang jauh lebih besar. Mesjid yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Alit ini diberi nama Mesjid Besar Jatinom.

Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan.

Gua Suran letaknya tak jauh dari Mesjid Besar Jatinom. Gua ini, dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig. Konon, ular dan macan menjadi penjaganya, saat ia bersemedi. Meski berbentuk terowongan, Gua Suran ini tidak terlalu dalam, bahkan lebarnya hanya selebar tubuh manusia. Tingginya, memaksa orang yang masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua. Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.

Sementara Gua Belan, yang letaknya di sebelah timur Gua Suran, juga merupakan tempat bersemedi Ki Ageng Gribig, yang terkadang dijadikan tempat bertemu dengan Sultan Agung.

Disebut-sebut, ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke Makkah al-Mukarromah, dalam waktu singkat, bak orang melempar batu. Sehingga hampir setiap hari, ia dapat pergi ke Tanah Suci, dan kembali ke kampungnya. Suatu hal yang mustahil di zaman itu dan saat ini.

Suatu Jum?at di Bulan Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar), Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci. Ia membawa oleh-oleh, 3 buah penganan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai. Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis.

Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan mendapatkannya. Sambil menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan, Berilah Kekuatan" atau bisa juga berarti "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)". Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap: ?Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin?. Yang Artinya, ?Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin. Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimin?.

Penganan ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan", yang bermakna Ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta.

Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 ?aka, Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini. Ia pun mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan. Amanat inilah yang mentradisi hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan "Yaqowiyu".

Sebutan Ki Ageng Gribig melekat pada diri beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng Gribig untuk tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).

Makam Ki Ageng Gribig dibuat dari batu merah dan kayu, terletak di Dukuh Jatinom, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, yang berjarak ? 9 km dari kota Klaten, Jawa Tengah.

Versi lain tentang Ki Ageng Gribig juga terdapat di Malang, Jawa Timur. Hanya saja Ki Ageng Gribig ini disebutkan sebagai putra dari Pengeran Kedawung yang juga salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo. Lembu Niroto sendiri adalah putra ketiga dari Raja Brawijaya XI yang memerintah Majapahit pada 1466-1478. Jadi Ki Ageng Gribig itu cicit Raja Brawijaya XI.

Ki Ageng Gribig ini konon disebut-sebut sebagai salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga yang ada di Malang. Tak heran jika Ki Ageng Gribig menjadi salah seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1650.

Makam Ki Ageng Gribig ini kini terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gg. II, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Makam seluas satu hektar itu berada persis di sebelah sebuah masjid yang berdiri di jalan itu yang juga bernama Masjid Ki Ageng Gribig.

Di antara susunan batu nisan dan bangunan kijing yang ada di kompleks makam terdapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter di sisi barat. Berbeda dengan bangunan lain, dua pintu yang menghadap utara selalu tertutup rapat. Bahkan digembok dari luar. Di dalam bangunan itu terdapat dua buah makam. Itulah makam Ki Ageng Gribig dan istrinya.
 
Back
Top