Masa Depan Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia

nurcahyo

New member
Sumantoro Martowijoyo
MASA DEPAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DI INDONESIA:
TINJAUAN DARI ASPEK PENGATURAN DAN PENGAWASAN

Pengantar

Dengan berkembangnya keuangan mikro sebagai wahana pengurangan kemiskinan di Dunia Ketiga, perhatian pertama sejak ikrar Microcredit Summit di Washington DC 1997 adalah pencarian bentuk best practises lembaga keuangan mikro (LKM). Walaupun hampir tidak pernah diperhatikan oleh elite pemerintahan, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia karena merupakan tanah air dari LKM yang dianggap paling sukses di dunia, yaitu BRI Unit, ditambah beraneka ragamnya LKM lain di tingkat kecamatan dan perdesaan. Dalam membahas aspek kelayakan (viability) dan kelestarian (sustainability), topik yang banyak didiskusikan para pakar adalah pengaturan (regulation) dan pengawasan (supervision) LKM. Tulisan ini menyarikan isyu di bidang pengaturan dan pengawasan yang berkembang di dunia internasiona1 dan kemudian masalahyang sedang dihadapi LKM di Indonesia beserta usulan jalan keluarnya.
Isyu di sekitar Pengaturan dan Pengawasan LKM

Pertanyaan pokok yang timbul dengan tumbuhnya LKM adalah (Christen, 1997): (1) dapatkah pelayanan LKM memenuhi standar kinerja yang diperlukan untuk menjaga perkembangan sistem keuangan yang sehat? , dan (2) apakah pengaturan dan pengawasan oleh otoritas pengawasan memberikan faedah (nilai tambah) kepada LKM dan para penabungnya?

Dari pengamatan penulis, pertanyaan tersebut dijabarkan dalam beberapa isyu sbb.:

Isyu pertama adalah: perlukah LKM diatur dan diawasi? Apakah atau adakah faedah dari mengatur dan mengawasi LKM (bagi LKM sendiri, pemerintah, nasabahnya dan ekonomi secara keseluruhan) mengingat (i) kecilnya porsi kredit dan aset LKM serta lingkupnya yang sempit, sehingga apabila terjadi kegaga1an pada LKM hampir tidak akan terasa pengaruhnya bagi sistem keuangan, dan (ii) biaya untuk mengatur dan mengawasinya.

Isyu ke dua adalah: apabila hendak diatur dan diawasi, apakah berlaku bagi semua LKM? Apabila tidak semua LKM, mana yang akan diatur dan mana yang tidak? Sesuai peraturan yang banyak dianut, barangkali LKM yang menghimpun dana dari masyarakat (deposit taking) saja yang diatur. Lalu, apakah batasan dari "menghimpun dana dari masyarakat"? Apakah kelompok arisan dan koperasi kredit (credit union) dianggap menghimpun dana dari masyarakat? Apakah bank desa seperti BKD yang mewajibkan nasabah menyetorkan sebagian dari kredit yang diterimanya sebagai tabungan wajib dianggap menghimpun dana dari masyarakat? Apakah kelompok BMT yang menerima tabungan anggota yang ingin naik haji dianggap menghimpun dana dari masyarakat?

Bagaimana LKM yang hanya memberikan kredit tanpa menghimpun dana dari masyarakat? Dari kacamata otoritas perbankan mungkin tidak perlu diatur, tetapi bagaimana apabila ada donor atau lembaga dana lain yang berkehendak menyalurkan dana melalui mereka dan ingin tahu lebih dulu bagaimana track records kinerja mereka?

Isyu ke tiga: pengaturan bagi LKM yang diatur dan diawasi apakah dengan menerapkan peraturan yang telah ada atau dengan peraturan khusus? Apabila diterapkan peraturan yang ada untuk lembaga keuangan yang tradisional (bank umum). atau dengan modifikasi, seberapa jauh peraturan tsb sesuai (atau disesuaikan) dengan misi dan kondisi LKM? Apabila akan diadakan pengaturan khusus apakah otoritas pengatur telah memahami karakteristik perbedaan LKM dengan LK tradisional antara lain yang menyangkut lingkungan, segmen pasar, bentuk kelembagaan, skala operasi dan tingkat profesionalisme?

Hal di atas terutama menyangkut isyu yang ke empat: apakah kriteria pengukur kinerja (performance indicators) LKM sudah ada dan sudah tepat? CAMEL? CAMEL plus atau CAMEL minus? Atau kriteria lain yang banyak diajukan para pakar dari praktisi ?


Alternatif Pengaturan LKM

Sejauh ini pendekatan yang telah dilakukan dalam pengaturan LKM adalah:

1. Tanpa pengaturan (no regulation): di banyak negara, umumnya LKM informal (arisan, koperasi simpan-pinjam. pelepas uang, dsb.) bebas melakukan operasinya karena berada di luar jangkauan peraturan formal.

2. Peraturan yang ada (existing law): pengawasan dilakukan oleh otoritas pengawasan bank berdasarkan peraturan yang berlaku untuk bank umum dengan menyesuaikan beberapa rasio dan cara pengawasan dengan resiko yang khusus dihadapi LKM. Sebagai contoh pengawasan terhadap BancoSol di Bolivia dilakukan oIeh otoritas pengawasan bank dan lembaga keuangan.

3. Peraturan khusus(special law): pengawasan dilakukan oleh otoritas pengawasan berdasarkan peraturan yang khusus mengatur LKM atau portofolio kredit mikro dari lembaga keuangan. Sebagai contoh adalah Peru dengan peraturan khusus untuk EDPYME (lembaga pengembangan usaha kecil dan mikro), dan Bolivia yang kemudian mengeluarkan peraturan untuk PFF , semacam BPR-nya Bolivia.

4. Pengaturan sendiri (self-regulation): dilakukan oIeh federasi berdasarkan peraturan intern yang berlaku untuk anggota. Contoh: koperasi kredit (credit union) di banyak negara. termasuk Indonesia, diatur dan diawasi oleh federasinya (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia).

5. Pendekatan campuran (hybrid), di mana ditunjuk pihak ke tiga untuk mengawasi LKM berdasarkan persetujuan antara otoritas pengawasan dengan pihak terkait. Contohnya adalah Indonesia di mana pengawasan atas bank umum dan BPR dilakukan oleh bank sentral, sedangkan pengawasan atas BKD diserahkan kepada BRI.

6. Sedang dalam proses pembahasan di Filipina dan Afrika Selatan yang mengarah kepada pembentukan aliansi/koalisi beberapa pihak terkait, seperti federasi LSM pelaksana LKM, unit pengawasan dari bank sentral, lembaga penyedia dana bagi keuangan mikro (apex/wholesale finance intermediary), bank umum yang memberi kredit kepada LSM, badan pengaturan/pengawasan pemerintah, lembaga penelitian, akademisi, dan lembaga donor.

Yang menarik adalah bahwa lahirnya peraturan khusus bagi PFF di Bolivia merupakan hasil saling-ajar antara pengawas bank selama mengawasi BancoSol dengan pihak manajemen BancoSol. Sedangkan pembicaraan mengenai pengaturan LKM di Filipina timbul dari prakarsa praktisi LKM sendiri yang merasa membutuhkan nonna bagi kelayakan dan kelangsungan hidup "industri" mereka (Berenbach & Churchill, 1997).

Masalah LKM di Indonesia

Masa depan dan kelestarian LKM di Indonesia menghadapi beberapa masalah penting yang menyangkut pengaturan dan pengawasan:

1.

Status BKD yang masih "menggantung" (berstatus BPR tapi belum BPR).
Berdasarkan UU Perbankan No. 7/1992, BKD memperoleh status sebagai BPR, tetapi tidak/belum memenuhi beberapa persyaratan/kewajiban sebagai BPR, yaitu: (i) membuka kantor setiap hari kerja (persyaratan pengukuhan LDKP menjadi BPR, SKB Depdagri-BI-Depkeu 26 September 1994), (ii) ketentuan pemenuhan modal minimum, (iii) ketentuan penilaian tingkat kesehatan BPR, (iv) kewajiban pelaporan bulanan kepada BI. Apakah pengecualian terhadap ke empat hal tsb berlaku selamanya atau sementara? Apabila untuk selamanya, mengapa tidak dibakukan agar tidak menjadi pertanyaan yang secara psikologis mengganggu para pelaksananya? Tetapi apabila pengecualian tersebut berlaku selamanya, apakah tidak diskriminatif terhadap banyak LDKP yang mungkin mempunyai kelemahan yang sama sehingga tidak memenuhi syarat untuk menjadi BPR ? Apabila pengecualian tersebut hanya berlaku untuk sementara, apakah sudah dipikirkan dampaknya apabila kelak ke empat kewajiban di atas harus dipenuhi, dan telah dilakukan langkah-Iangkah agar "museum hidup" tersebut bisa terus lestari? Dari segi bentuk hukum, BKD juga menghadapi masalah karena bentuk hukum BPR yang diperbolehkan menurut UU Perbankan adalah perusahaan daerah, koperasi, atau perseroan terbatas. Akankah BKD dipaksa menjadi koperasi? Sejarah telah membuktikan ketidakberhasilan menjadikan BKD sebagai koperasi. Tidak adakah kemungkinan lembaga yang didirikan berdasarkan rembug desa ini diadopsi sebagai perusahaan daerah?

2.

Masa depan LDKP yang tidak dikukuhkan sebagai BPR setelah 30 Oktober 1997:
masih bolehkah beroperasi dan menghimpun dana dari masyarakat? Penutup dari SKB Depdagri-BI-Depkeu 26 September 1994 mengatakan bahwa LDKP yang tidak dikukuhkan menjadi BPR "tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP , dan dalam status ini dilarang melakukan usaha perbankan sebagaimana diatur dalam pasal13 UU No.7 tahun 1992". Padahal pasal tersebut mengatakan bahwa usaha perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan kredit, jadi apakah berarti LDKP yang tidak menjadi BPR tidak boleh beroperasi lagi? Apabila penutup SKB tsb keliru dan yang dilarang adalah menghimpun dana masyarakat, hal itu menurut penulis sangat disayangkan dan tidak adil karena (i) sebelum berlakunya UU No. 7/1992 LDKP tsb telah diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat, (ii) koperasi simpan-pinjam (yang umumnya kelembagaannya lebih lemah daripada LDKP) berdasarkan PP No.9/1995 boleh menghimpun modal tabungan dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya, bank dan lembaga keuangan lainnya, penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, serta sumber lain yang sah, yang berarti hampir sama dengan masyarakat luas.

3.

Implikasi dihentikannya fungsi BI dalam pemberian kredit dan dalam pengawasan perbankan. (i) Dengan tidak diperkenankannya BI untuk memberikan kredit oleh UU BI yang baru, bagaimanakah nasib Proyek Kredit Mikro (PKM) selanjutnya? Satu hal yang disayangkan adalah karena PKM adalah satu-satunya proyek, setelah Proyek FID, yang menaruh perhatian kepada penguatan kelembagaan LDKP, yang adalah LKM nonbank. (ii) Dengan dicabutnya fungsi BI dalam pengawasan perbankan paling lambat di tahun 2002, bagaimanakah pengawasan BKD selanjutnya? Selama ini, BRI melakukan pengawasan kepada BKD atas mandat dan (terutama) pembiayaan dari BI. Masalah ini bertambah serius dengan adanya berita burung bahwa BRI bemiat melepaskan tugas tersebut atas saran dari IMF (?).
4.

Latar belakang dua masalah yang pertama adalah: tidak konsistennya konsep BPR yang dianut pemerintah, sehingga merugikan eksistensi LKM pra-Pakto. Semula UU Perbankan No.14/1967 dan SK Menkeu No. 1064/KMK.001/1988 menyebutkan bahwa BKD, LDKP , bank pasar dan sejenisnya adalah identik dengan BPR. Kemudian tindak lanjut UU Perbankan No. 7/1992 mewajibkan LKM yang telah berdiri sebelumnya tapi belum memperoleh izin usaha sebagai BPR untuk mengajukan permohonan izin usaha dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan (yaitu PP No. 71/1992 dan SKB Depdagri-BI-Depkeu 26 September 1994 ). Latar belakangnya ternyata penjelasan pasal 21 ayat 2 UU No. 7/1992 yang mengatakan bahwa lembaga-lembaga tsb. adalah "lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR", berarti tidak identik dengan BPR, dan oleh karenanya harus meningkatkan diri menjadi BPR. Di kalangan otoritas moneter rupanya dianut mitos bahwa lembaga keuangan yang lebih besar adalah yang lebih baik (opini penulis dalam Media Indonesia, 24 Mei 2000). Diperbolehkannya BPR membuka kantor cabang di luar wilayah kecamatan, bahkan kabupaten, lebih mengaburkan konsep BPR sebagai community bank yang diharapkan "memperdalam " akses pelayanan kepada masyarakat di sekitamya. Kurang difahaminya konsep LKM oleh pihak pengawas BPR dan sudut pandang yang berorientasi kepada perbankan umum terlihat dari perbedaan persepsi di lapangan mengenai hal-hal yang justru merupakan pelaksanaan misi LKM, seperti pemberian kredit dalam jumlah kecil-kecil dan pemberian kredit tanpa agunan.



LKM dan Pembangunan Daerah

Pengembangan lembaga dana dan kredit perdesaan (LDKP) di Indonesia adalah merupakan hasil pergeseran kebijakan pembangunan sektoral yang sentralistik ke arah kebijakan pengembangan perdesaan terpadu yang didesentralisasikan ke daerah. Proyek Pengembangan Wilayah (Provincial Area Development Project) dilaksanakan selama 10 tahun (1978-1988) di 4 propinsi di Jawa yang padat penduduknya dan 6 propinsi di luar Jawa yang dianggap paling miskin. Kegiatan PPW ditujukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing. Pengembangan sistem kredit perdesaan merupakan salah satu komponen program untuk mengurangi kemiskinan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat.Berdasarkan peraturan daerah masing-masing, Bank Pembangunan Daerah ditunjuk menjadi pembina teknis, sedangkan pejabat pemerintah dari tingkat propinsi sampai kecamatan bertindak sebagi badan pembina. Keberhasilan LDKP sebagian besar tergantung kepada intensitas pembinaan dari BPD di masing-masing propinsi serta keberhasilannya dalam membebaskan diri dari campur tangan birokrasi.

Dalam rangka otonomi daerah, selain merupakan penyedia pelayanan keuangan bagi masyarakat ekonomi lemah, LDKP mempunyai potensi sebagai penyumbang penghasilan daerah yang cukup berarti, asalkan dibina untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas jangkauan pelayanannya, serta menekan tingkat tunggakan kreditnya. Akan tetapi mengingat BPD yang menjadi pembinanya di banyak propinsi saat ini sedang menghadapi banyak masalah dalam membenahi dirinya sendiri sebagai bank umum, dikhawatirkan perhatiannya kepada pembinaan LDKP akan menurun di saat-saat sekarang.



Kesimpulan dan Usulan

1. Perlu penghayatan oleh otoritas pengatur dan pengawas perbankan Indonesia mengenai konsep LKM yang tidak semata-mata berdasarkan konsep perbankan, kemudian melakukan perenungan kembali kebijakan yang telah dikeluarkannya serta mengambil langkah-langkah untuk menghindarkan dampak negatif kebijakan yang kurang mendukung kelangsungan hidup LKM.

2. Implikasi bagi BKD apabila aturan BPR (buka setiap hari kerja, pemenuhan KPMM, pelaporan bulanan, ketentuan tingkat kesehatan) harus dilaksanakan adalah matinya sebagian besar BKD karena menanggung beban berat dari perubahan sistem akunting, organisasi dan biaya. Oleh karena itu, pengecualian dari peraturan tersebut seyogianya dibakukan selamanya dengan memberikan status BKD sebagai "BPR Khusus" sebagaimana Grameen Bank memperoleh special charter di Bangladesh.

3. Oleh karena BKD (yang tidak dapat memenuhi beberapa persyaratan BPR) dapat memperoleh status sebagai BPR, maka demi keadilan LDKP yang tidak menjadi BPR juga harus diperbolehkan terus beroperasi sebagai LDKP dan diperbolehkan menghimpun dana secara "terbatas" dari masyarakat di lingkungannya. Yang dimaksud dengan "masyarakat di lingkungannya" adalah: para peminjam, anggota, penduduk desa/kecamatan tempat kedudukannya (atau di mana LDKP beroperasi), atau kelompok masyarakat lain yang mempunyai hubungan kepaguyuban ( common bonds ) dengan LKM.

4. Apabila BPR memang didorong untuk menjadi besar dan dibiarkan menjadi seperti bank umum berskala kecil seperti gejala perkembangannya saat ini, kiranya struktur perbankan Indonesia yang terdiri dari bank umum dan BPR perlu memberi ruang dan hak hidup bagi satu jenis bank lagi, yaitu LKM atau Lembaga Keuangan Perdesaan,untuk menampung lembaga-1embaga yang walaupun "lebih kecil dari BPR " dan tidak memenuhi syarat menjadi BPR tetapi telah menunjukkan jasanya dan sustainabilitynya melebihi lembaga-1embaga lain yang memperoleh bantuan dan subsidi terus-menerus. BKD kiranya dapat "diturunkan" ke golongan ini, sedangkan yang termasuk dalam BPR hanyalah LKM yang sepenuhnya dapat menerapkan sistem BPR.

5. Kriteria penilaian tingkat kesehatan bagi LKM kiranya perlu dirumuskan kembali oleh satu tim yang terdiri dari orang-orang yang memahami perbankan dan keuangan mikro, dengan mengikutsertakan pengawas BKD dan LDKP, karena kriteria CAMEL tidak sesuai diterapkan bagi LKM. Dalam kaitannya dengan keadilan (butir 2), dan karena akan digolongkan menjadi satu (butir 3), kiranya perlu diadakan satu studi untuk membandingkan kinerja BKD (yang bagaimanapun kinerjanya tokh memperoleh status sebagai BPR) dengan LDKP yang tidak memenuhi syarat atau tidak mau menjadi BPR dengan tolok ukur yang sama oleh satu tim yang kompeten.

6. Pengawasan atas LKM yang berupa BKD seyogianya tetap diserahkan kepada BRI, sedangkan LKM yang terdiri dari LDKP yang tidak menjadi BPR tetap diserahkan kepada BPD masing-masing propinsi. Mengingat akan phasing outnya BI dari pengawasan bank dan BRI dari pengawasan BKD, serta keadaan BPD yang menghadapi banyak masalah, kiranya perlu dipikirkan pula pembentukan satu lembaga pengawasan LKM yang terdiri dari unsur-unsur pengawas BKD, pengawas LDKP , praktisi dan pakar keuangan mikro.

7. Untuk pengembangan LKM, yang terbukti telah dapat menjaga kesinambungan hidupnya dengan mandiri, diperlukan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah.

Sekedar perhatian. tidak usah disertai bantuan dana yang besar, akan merupakan angin sejuk bagi LKM, yang selama ini menjadi perhatian orang luar negeri. tapi hampir tidak pernah dilihat keberadaannya oleh akademisi dan petinggi dalam negeri. Pemerintah lebih suka membuat proyek atau lembaga kredit baru, dengan suku bunga murah yang mengakibatkan LKM sukar mengembangkan usahanya, daripada membina LKM yang sudah ada. Masa depan LKM Indonesia sangat tergantung kepada kebijakan pengaturan dan pengawasan yang tepat, yang memahami misi yang diemban oleh LKM dan kondisi yang dihadapinya.



Dr. Sumantoro Martowijoyo : Ketua Pusat Studi Keuangan Kecil dan Mikro (PUSAKO, mantan Pemimpin Proyek Kredit Mikro (ADB - BI)
 
Mohon tampilkan tentang Tingkat Kesehatan BMT dilihat dari permodalan,rentabilitas,likuiditas,kualitas asset,dsb yang bisa dijadikan acuan bahwa BMTtersebut sehat!
 
Back
Top