Operasi Gagak, Upaya Merebut Yogyakarta

langit_byru

New member
Operasi Gagak, Upaya Merebut Yogyakarta


Tanggal 19 Desember 1948, jam 06.45 pagi di atas lapangan terbang Maguwo Yogyakarta. Lampu hijau di pintu pesawat C-47 Dakota menyala dan dispatcher (pemberi izin) berteriak: GO?GO?GO?! Pendaratan udara dimulai. Setelah hiruk-pikuk di dalam pesawat saat melompat, pasukan Para ini mendengar tembakan perlawanan dari segala penjuru dari arah bawah. Penerjun ini hanya sebentar dan dilakukan secepat mungkin. Karena itu pasukan diterjunkan dari ketinggian 120 m.

Ini adalah awal dari penyerbuan Belanda atas Ibukota Republik Indonesia, kala itu Yogyakarta. Dengan maksud untuk menghapus keberadaan Republik Indonesia, sehingga Belanda akan kembali berkuasa di bumi Hindia Timur (Indonesia).

Aksi militer yang dikenal dengan Agresi Militer kedua ini (Agresi Militer pertama telah dilakukan Belanda tahun 1947, dengan menguasai sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur serta sebagian Jawa Tengah), sudah direncanakan sejak Agresi Militer pertama sukses dilaksanakan. Paling tidak sejak Januari 1948 telah dibentuk satgas operasi, yang merencanakan aksi pendaratan udara ini. Dalam rencana Jenderal Spoor (Panglima Militer Belanda di Indonesia), kelompok penerjun payung memegang peranan penting, dan menurut stafnya penguasaan Jawa Tengah akan sukses hanya dengan penyerangan besar-besaran dari udara. Operasi tersebut diberi sandi "Operatie Kraai" (Operasi Burung Gagak).

Sepanjang tahun militer Belanda sibuk dengan persiapan. Tampak dengan kegiatan di sekolah penerjun payung (School Opleiding Parachutisten) di Cimahi Bandung dan dibentuknya kompi pertama pasukan khusus Para. Mulanya penyerbuan akan dilaksanakan tanggal 18 Desember 1948.

Fase persiapan

Tanggal 16 Desember, dua hari menjelang penyerangan, 17 C-47 Dakota telah disiapkan di lapangan terbang Andir Bandung (sekarang Lanud Husein Sastranegara). Sebanyak 16 pesawat untuk mengangkut pasukan payung dan satu untuk cadangan. Sementara 20 Dakota lagi stand by di Semarang, dipersiapkan sebagai jembatan udara mengangkut pasukan pendukung (tidak dengan parasut) dari sana. Kekuatan angkutan udara ini terdiri dari 17 Dakota dari Militaire Luchtvaart (Angkutan Udara Militer), 10 Dakota Koninklijke Marine (AL) dan 10 Dakota KLM (maskapai penerbangan sipil) yang diawaki pilot sipil yang segera dimiliterkan dengan pangkat perwira.

Pesawat- pesawat yang datang di Bandung sebelumnya melewati rute berbeda. Begitu juga yang terbang ke Semarang, dilakukan untuk mengelabui demi kerahasiaan operasi. Selain pesawat angkut, di Semarang disiapkan skadron pemburu terdiri dari enam P-51 Mustang, 10 P-40 Kittyhawk, delapan Spitfire Mk IX dan empat pembom B-25 Mitchell.

Pasukan yang akan berperan dalam aksi penerjunan adalah Parachutentis Compagnie, berbaret merah marun. Sedangkan yang diangkut dari Semarang lewat jembatan udara adalah pasukan komando dari Depot Speciale Troepen berbaret hijau. Dua kesatuan ini tergabung dalam Korps Speciale Troepen, berkedudukan di Batujajar Padalarang Jawa Barat (sekarang jadi Pusat Pendidikan Kopassus).

Tanggal 17 Desember sehari menjelang penyerbuan, kepastian Yogya akan diserang semakin kentara. Sasaran penerjunan adalah lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto), karena apabila dikuasai akan menjadi titik penyaluran suplai dan bantuan. Perlengkapan penerjun telah disiapkan, senjata dibersihkan dan amunisi telah lengkap. Terdengar juga pemaparan tentang rencana penyerangan. Setiap orang harus tahu persis apa yang akan dilakukannya setelah pendaratan. Terutama Grup Demolisi Para yang mengemban tugas khusus dan penting. Grup kecil ini hanya terdiri dari sepuluh orang yang berpengalaman dalam terjun dan bahan peledak. Segera setelah mendarat mereka harus menjinakan bom atau ranjau di lapangan terbang.

Selain lewat udara, pasukan infanteri dan perbekalan Belanda juga akan menempuh jalur darat. Dari Salatiga dan kota-kota lainnya, selain masuk Yogya juga menyerang kota-kota lain seperti Solo, Magelang, Klaten, Wonosobo, Banjarnegara, Kudus, Rembang, Blora, Cepu, Madiun dan beberapa kota lainnya.

Kesalahan rencana

Ternyata usaha-usaha ini tidak luput dari ketidaksempurnaan dalam perencanaan. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertama Angkatan Perang Kerajaan Belanda melakukan sebuah operasi udara berskala besar. Setidaknya ada tiga kesalahan yang dilakukan. Pertama, Pasukan Komando baret hijau yang bermarkas di Batujajar Jawa Barat, pagi-pagi sekali pada jam 04.45 naik truk ke Stasiun Padalarang, kemudian naik kereta api ke Semarang dan tiba di sana jam 19.30. Setelah itu mereka naik truk lagi ke kamp sementara. Hujan deras dan kelelahan mendera, mereka juga dapati barak-barak yang bocor dan harus tidur dilantai. Kondisi ini dapat mempengaruhi stamina pasukan.

Kesalahan kedua, alasan politis. Aksi ditunda selama 24 jam. Semua orang yang terlibat dalam aksi merasakan ketidakuntungannya. Penundaan ini akan lebih banyak menimbulkan bahaya dan dapat mengurangi unsur kejutannya. Bagi pasukan di Semarang, yang diguyur hujan, terus akan tetap menghadapi barak bocor dan lantai beton yang dingin. Terakhir, kesalahan terjadi di basis penerbangan di Semarang. Kesepakatan antara penerbangan militer dan pasukan infanteri banyak yang meleset. Skema pendaratan pesawat tidak sesuai skema pesawat, pasti akan terjadi kesalahan kontrol. Masalah ini sampai malam masih dibahas.

Menuju Yogya

Tanggal 18 Desember, berita sudah definitif. Lagi-lagi kontrol terakhir senjata, amunisi, ransum, cek kesehatan dan sebagainya dilakukan. Prajurit dianjurkan tidur sore agar badan tetap segar bugar. Pasukan Para sudah siap sejak tengah malam. Jam 2 dini hari tanggal 19 mereka tiba dari markasnya dengan truk. Mereka lantas memenuhi hanggar-hanggar pesawat lapangan terbang Andir, kopi panas dan roti tersedia untuk mereka. Para instruktur mengontrol setiap parasut agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Jam 4 pagi datanglah Jenderal Spoor. Sang jenderal berucap singkat, "Good Luck".

Duapuluh menit kemudian para penerjun payung sudah berada di 16 pesawat Dakota. Keberangkatan pesawat ditandai dengan sinyal dan baru berakhir pada jam 04.45 ketika pesawat terakhir mengudara. Di atas kota Bandung yang masih lelap, berseliweran pesawat-pesawat terbang. Walaupun redup, tampak dari atas lampu-lampu rumah penduduk. Mulanya pesawat-pesawat itu terbang secara individu, masing-masing menuju pantai selatan Jawa melewati Cilacap. Pilot pesawat mematuhi instruksi radio dari kapal Angkatan Laut Hr Ms Banda. Kapal ini berada di lepas pantai selatan Yogya, tempat pesawat-pesawat itu berkumpul.

Di dalam pesawat suasana berantakan sekali. Bertebaran kantong-kantong yang sebenarnya untuk pakaian, tetapi dipakai untuk menyimpan senjata, amunisi, ransum dan perlengkapan lain. Setiap orang mengamati parasutnya. Mereka sudah mempelajari sketsa lapangan terbang Maguwo yang jadi sasaran, seperti titik-titik di mana pengumpulan setelah pendaratan, daerah tujuan penaklukan serta lokasi tim medis. Setiap komandan memiliki bendera berbeda warna, sehingga setiap anggota tahu di mana harus berada.

Menurut informasi intelijen yang mereka terima, lapangan terbang Maguwo dijaga sekitar 100 anggota AURI dan sekitar 100 orang dari Divisi Siliwangi. Perlu diketahui, keberadaan pasukan Siliwangi di Yogya karena pada waktu itu Jawa Barat dikuasai Belanda, sehingga Siliwangi hijrah ke Yogya. Menurut informasi yang sama, di sekitar landas pacu ditebari ranjau dan bom. Di sana juga terdapat beberapa bunker senapan mesin. Kolonel D.R.A van Langen, komandan seluruh pasukan mengatakan, "Semua kemungkinan bisa terjadi, kita harus memperhitungkan tindakan perlawanan di lapangan terbang Maguwo dan di Yogya."

Dini hari pesawat mendekati titik pertemuan (rendezvous). Sebentar lagi menjelang saat penerjunan, dari jendela tampak pesawat-pesawat lainnya. Setelah semua bertemu di titik ini kemudian mengarah ke Timur Laut langsung menuju Yogya, tepatnya lapangan udara Maguwo.

Pihak Republik bukan tidak waspada akan kemungkinan agresi Belanda. Mereka sudah melakukannya tahun 1947 dan menguasai banyak wilayah Republik. Kemungkinan Belanda menyerang lagi sangatlah besar. Itulah sebabnya di berbagai daerah Republik banyak dibentuk badan perjuangan selain TNI, termasuk juga di Yogyakarta sebagai Ibukota negara.

Untuk menjaga kesiapan, secara teratur diadakan latihan perang-perangan. Kebetulan pada tanggal 19 Desember itu akan diadakan latihan yang melibatkan semua unsur kelaskaran, dapur umum dan Palang Merah. Saat itu tak ada yang menyangka kalau hari itu akan terjadi perang sungguhan. Sejak pagi-pagi sekali semua yang terlibat sudah siap melaksanakan latihan.
 
Mulai serang Yogya

Sementara itu jam 5 pagi pasukan Komando di Semarang terbang menuju Yogya. Sekitar jam 6 pagi pesawat-pesawat tempur yang sudah mencapai Yogya, langsung menyerang titik-titik yang dianggap sebagai basis TNI dan "membersihkan" lapangan Maguwo. Untuk mengacaukan pihak TNI dari atas Yogya diterjunkan 24 dummies dan juga 1.500 lembar pamflet. Ini sebagai peringatan agar penduduk sipil tidak lalu-lalang di jalanan. Mulanya penduduk Yogya mengira suara tembakan dan pesawat yang meraung-raung di udara adalah bagian dari latihan. Tapi setelah melihat pesawat dengan tanda asing menembaki jalanan, mereka sadar telah diserang.

Jam 06.45 penerjun pertama melompat dari pesawat Dakota diikuti yang lainnya. Dari atas, tampak pasukan dari Divisi Siliwangi yang dipercayakan mengawal lapangan udara siap menyambut dengan senjatanya. Bagi Belanda ini merupakan pertama kali dalam sejarah, angkatan bersenjatanya menerjunkan pasukan payung secara massal.

Lalu terjadi sesuatu yang buruk saat para penerjun melompat. Kaki salah satu penerjun tersangkut di pesawat dan membuatnya tergantung. Pilot berteriak, katanya ia tidak bisa mendarat dengan keadaan begitu. Asisten dispatcher, Ton van Rijn mencoba menarik penerjun itu kembali ke dalam pesawat. Usaha ini berhasil dan selanjutnya penerjun itu turun dengan parasut terbuka. Ia mendarat jauh dari area yang ditentukan, namun pendaratannya cukup bagus. Kemudian cepat-cepat ia menyiapkan senjata. Ia tak perlu bertanya lagi ke mana harus pergi. Hati-hati ia menyusuri jalan sempit menuju lapangan terbang.

Beberapa lama kemudian terdengar suara, buru-buru ia berlindung di balik semak. Tiba-tiba ia kaget karena sekelompok TNI datang berlari ke arahnya. Ia hanya bisa tetap sembunyi menunggu mereka berlalu. Selanjutnya ia kembali menyusuri jalan itu lagi. Menjelang lapangan terbang, ia terlihat oleh penembak mitraliur pasukan Para lainnya dan sudah dibidik dengan senapan Bren. Untungnya walaupun ia bangsa pribumi, si pembidik segera melihat seragam militer Belanda yang dikenakannya, sehingga ia urung ditembak. Meski si pembidik heran dari mana datangnya orang itu.

Seksi demolisi berhasil menjinakan bom-bom dan ranjau yang bertebaran di landasan pacu. Kemudian pasukan Para menyebar ke beberapa penjuru di lapangan terbang Maguwo itu dan menunjukan aksi keberaniannya. Mereka sempat panik ketika TNI balik menyerang. Kira-kira jam 07.15, lapangan terbang berhasil dikuasai Belanda. Namun pertempuran di sekitarnya masih terus berlanjut, baru kira-kira jam 8 tepat seluruh Maguwo berhasil dikuasai Belanda. Jam 08.10 Dakota pertama mendarat disusul yang lainnya dengan membawa pasukan komando baret hijau dan perbekalan. Setelah dropping, pesawat-pesawat itu selanjutnya akan kembali ke Semarang.

Jam 10.00 terjadi hal yang menghebohkan. Sebuah pesawat terbang tak dikenal mendekat. , pesawat amfibi bermesin dua PBY Catalina. Setelah diijinkan mendarat ternyata pesawat itu dipiloti oleh warga AS bernama James Flemming. Ia adalah seorang anggota Partai Republik AS. Seorang opsir TNI yang ikut serta segera ditawan Belanda. Perlawanan dari pihak Republik Indonesia masih terjadi, serangan-serangan kecil masih mengganggu Maguwo yang sudah dikuasai Belanda.

Menguasai kota

Tentara Belanda melanjutkan penyerangan menuju kota Yogya. Di kampung Padasan antara Maguwo dan kota, pasukan Belanda dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing mempunyai rute sendiri menuju kota Yogya.

Jam-jam berikutnya daerah kekuasaan tentara Belanda meluas sampai ke jalan-jalan di kota Yogya. Sebuah pabrik gula yang semula diduduki 60 orang pasukan TNI, akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Dengan teknik komando, pasukan Belanda menyerbu pabrik itu menggunakan truk berkecepatan tinggi. Setelah menerobos, dengan gerak cepat dan penuh kejutan mereka memukul mundur TNI. Teknik ini masih dipakai oleh pasukan komando masa kini.

Perlawanan TNI bukan tidak ada, walau dikatakan kecil namun cukup merepotkan tentara Belanda. Buktinya baru jam 15.00 sore, Yogya bisa dikuasai Belanda. Pada jam ini tentara Belanda sudah mengepung Gedung Negara (Istana Presiden) di Jalan Malioboro, dekat Keraton Yogya. Mereka mendapat perlawanan dari arah benteng Vredesburg yang letaknya berhadapan dengan Gedung Negara. Namun dengan dukungan persenjataan yang lebih unggul, tentara Belanda berhasil menerobos mendekati Istana.

Soekarno ditawan

Seorang sersan Belanda, Sersan Vermeer melemparkan granat tangan ke arah Istana, guna memancing kekagetan di sana. Ia berhasil, tak lama kemudian seseorang keluar dari dalam Istana dan mengibarkan bendera putih. Pasukan pengawal Istana menyerah tanpa membawa senjata. Kemudian sersan Belanda tadi menanyakan keberadaan Presiden Soekarno, namun dijawab Presiden tidak mau keluar. Kemudian tentara Indonesia itu disuruhnya kembali dengan membawa pesan, jika dalam tempo dua menit Soekarno tidak keluar maka Istana akan diserbu.

Satu menit kemudian Presiden Soekarno keluar. Beliau kemudian ditawan bersama tokoh-tokoh Republik lainnya seperti Wakil Presiden Moh.Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, H.Agus Salim dan beberapa tokoh lainnya. Mereka kemudian dibawa ke lapangan terbang Maguwo untuk diterbangkan ke tempat pengasingan. Sementara pemerintahan Republik dialihkan secara darurat kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang berkedudukan di Sumatera.

Seluruh aksi pendudukan di lapangan Maguwo dan kota Yogya ini, disebut Belanda sebagai Aksi Polisionil (Politionel Aktie). Sedangkan pihak Indonesia menyebutnya Agresi Militer Belanda. Menurut catatan pihak Belanda, aksi ini menelan korban 125 orang tewas dan ratusan luka di pihak Indonesia, namun tidak memberi catatan berapa korban di pihak Belanda. Mereka hanya menyebut sedikit korban di pihaknya.

Aksi ini segera menjadi berita dunia dan memancing berbagai reaksi. Dunia internasional kala itu lebih banyak bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini, karena dinilai telah menyerang kedaulatan sebuah negara.

Pihak TNI juga tidak tinggal diam. Sementara Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya di luar kota, di Yogya sendiri sering terjadi serangan gerilya yang ditakuti tentara Belanda. Mereka gentayangan di malam hari, menyerang secara mendadak pos-pos tentara Belanda dan menghilang begitu saja seperti hantu. Gaya serangan ini membuat perwira Belanda tidak berani bermalam di kota Yogya. Mereka memilih tidur di komplek lapangan terbang Maguwo yang dijaga ketat. Sementara tentara Belanda yang bukan totok dan masih pribumi, ditugaskan menjaga kota.

Akan adanya perlawanan ini mendapat kritikan tajam di dunia internasional. Klaim Belanda bahwa Republik Indonesia telah tamat tidak terbukti. Malahan masalah ini dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Belanda juga kerepotan dengan biaya tinggi dalam usaha menguasai kembali Indonesia. Menurut perkiraan, Belanda harus mengeluarkan hampir 400 juta dollar per tahun guna memelihara tentaranya di Indonesia. Akhirnya setahun kemudian, tepatnya tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. **
 
Korps Speciale Troepen

Terdiri dari dua kesatuan yaitu Parachutisten Compagnie baret merah marun (Rode/Maroon Baret), dengan anggota 240 orang dan Depot Speciale Troepen baret hijau (Groene Baret) berkekuatan 570 orang. Berkedudukan di Batujajar, Padalarang, Jawa Barat, pasukan ini berkualifikasi komando dan menjalankan tugas-tugas khusus seperti ujung tombak dalam penyerbuan ke Yogya. Selain di Jawa, korps elit ini juga banyak beroperasi di Sumatera.

Meski dipimpin perwira Belanda, kebanyakan anggotanya adalah pribumi. Prajurit angkatan bersenjata Hindia Belanda KNIL (Koninklijke Nederlands Indies Leger) selain bangsa Belanda dan Indo juga terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sunda, Kawanua, Tionghoa atau Maluku. Namun Suku Maluku lebih dominan.

Setelah Yogya, pasukan Para juga terjun di Sumatera Tengah. Pada 29 Desember 1948 merebut kota Jambi dan 5 Januari 1949 di Rengat dan Air Molek. Tanggal 10 Maret 1949 mereka kembali terjun di Jawa Tengah. Kali ini dilakukan oleh Kompi 2 (2e Para Compagnie), di lapangan terbang kecil Gading di tenggara luar kota Yogya. Tujuannya merebut stasiun pemancar radio perjuangan, milik Republik di sekitar Wonosari.

Sedangkan pasukan komando Depot Speciale Troepen, mempunyai citra buruk di Indonesia. Di bawah komando Kapten Raymond Westerling, pada tanggal 7 Desember 1946 pasukan ini membantai banyak warga sipil di Sulawesi Selatan. Bahkan tentara Belanda "asli" yang didatangkan dari Belanda pun protes atas kelakuan brutal pasukan ini. Pada tanggal 15 Juli 1949, kedua kesatuan tadi digabungkan dan Korps berubah menjadi Regiment Speciale Troepen.

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember1949, pasukan ini menolak dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Mereka bersikeras menjadi Tentara Negara Pasundan, negara boneka bentukan Belanda yang akan dibubarkan. Karena tuntutannya ditolak, tanggal 23 Januari 1950 mereka berontak dan mengacau di kota Bandung. Dipimpin mantan komandannya, Kapten Westerling, mereka menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Setiap anggota TNI yang mereka jumpai langsung dibunuh. Akibat serangan mendadak ini jatuh korban 79 prajurit TNI gugur.

Pada tanggal 20 Juli 1950 KNIL didemobilisasi (dibubarkan), termasuk resimen ini. Pasukan komando Belanda yang ada saat ini yaitu Korps Commando Troepen (KCT), merupakan penerus dari Korps Speciale Troepen atau Regiment Speciale Troepen (KST/RST).

School Opleiding Parachutisten

Didirikan pada 15 Maret 1946 di Cimahi Jawa Barat dan berada dibawah Korps Speciale Troepen, sebagai salah satu tempat pendidikan. Jenderal Spoor, Panglima Militer Hindia Belanda menyadari efektifnya pasukan payung dalam sebuah operasi militer. Apalagi dalam merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Republik Indonesia. Oleh karena itu dibentuklah sekolah penerjun militer School Opleiding Parachutisten (SOP) Tjimahi dengan siswa gelombang pertama sebanyak satu kompi berasal dari pasukan Depot Speciale Troepen.

Siswa-siswa ini terbang dengan pesawat C-47 Militaire Luchtvaart dari lapangan terbang Andir Bandung. Mereka melompat dari ketinggian 900 kaki di atas langit Cimahi dan mendarat di sebuah lapangan militer kota itu (sekarang lapangan ini sudah menjadi perumahan dan pasar di Jalan Sriwijaya Cimahi).

Setelah mendapat pendidikan, gelombang pertama lulus pada 1 Mei 1947 dan berhak mendapat wing penerjun. Tanggal 7 dilantik oleh Jenderal Spoor pada sebuah acara di lapangan terbang Cililitan (sekarang Lanuma Halim Perdanakusumah), sebagai 1e Parachutisten Compagnie dan mendapat baret khas warna merah marun. Tugas pertama kompi ini adalah Operasi Gagak. Sekolah ini kemudian dibubarkan seiring pembubaran/demobilisasi Tentara KNIL pada 1950.

Elang Inggris di Langit Jawa

Kebanyakan orang lebih tahu pesawat tempur Belanda yang beroperasi di Indonesia adalah P-51 Mustang dan P-40 Kittyhawk. Mustang dikenal karena kemudian diwariskan kepada AURI. Sedangkan Kittyhawk terkenal karena menembak jatuh pesawat Dakota yang ditumpangi Komodor Abdulrahman Saleh. Namun sebenarnya, AU Belanda juga menggunakan pesawat tempur terkenal buatan Inggris yaitu Spitfire.

Datang pertama kali di Hindia Belanda pada Agustus 1947, Spitfire diangkut kapal laut MS Sloterdijk langsung dari Inggris. Pesawat ini tergabung dalam Skadron 322 dan ditempatkan di Kalijati Subang, Jawa Barat. Pada 22 Desember 1947, skadron ini dipindahkan ke Kalibanteng, Semarang, Jawa Tengah. Awalnya memakai warna kamuflase loreng khas RAF, tapi kemudian diganti warna jungle green polos dan warna biru muda di bagian bawahnya.

Selain ikut dalam penyerbuan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Kiprah pertamanya juga pada tanggal dan bulan yang sama yaitu tanggal 19 Desember 1947, dengan mendesak mundur pasukan TNI di sekitar Cibatu Jawa Barat. Dari 20 Spitfire Mk IX yang ada, hanya 12 yang digunakan sedang sisanya sebagai cadangan.

---
Sejarah Indonesia, Agresi Militer Belanda II
Yang masih SMA wajib baca ini!!

Kalo ada kata kata yang ga ngerti, tanya disini...
 
Back
Top