Penyimpanan Jenazah

singthung

New member
Penyimpanan Jenazah


Seberapa lama suatu jenazah selayaknya disemayamkan atau disimpan sebelum diperabukan? Di Yunani pada zaman lampau, sebelum pengetahuan di bidang medis berkembang pesat, jenazah orang mati lazimnya disimpan selama dua tiga hari untuk memastikan bahwa telah benar-benar meninggal dunia, bukan dalam keadaan mati suri. Upaya pembuktian dalam hal ini kadangkala dilakukan dengan mengiris atau memotong jari tangan.

Dalam Agama Buddha sama sekali tidak ada ketentuan yang mengikat. Akan tetapi, di Muangthai ada tradisi menyimpan jenazah bhikkhu-bhikkhu terkenal dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ada beberapa alasan yang melatar-belakangi tradisi tersebut. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para siswa serta umat awam yang bertinggal di tempat yang sangat berjauhan, untuk datang menghaturkan penghormatan terakhir. Kedua, ada kebiasaan bagi orang-orang Thai untuk berbuat kebajikan dalam upacara kematian dengan menjadi sponsor pembacaan kitab-kitab Abhidhamma. Karena sedemikian banyak peminatnya, acara yang berlangsung setiap malam itu terulur-ulur hingga lama sekali. Ketiga, karena para pengikut bhikhu-bhikkhu terkenal itu belum bisa menghilangkan rasa kerinduan dan kemelekatan. Keempat, jenazah itu sengaja tidak segera diperabukan karena vihâra tempat bertinggal mereka tidak mempunyai pengganti (successor) yang dapat diharapkan menanggung kebutuhan serta biaya pengeluaran vihâra sehari-hari. Kalau jenazah mereka segera diperabukan, umat-umat yang dahulunya sering datang ke vihâra untuk berdana niscaya akan berpindah ke vihâra-vihâra lain.

Kalau ditanyakan apakah tradisi semacam itu sesuai dengan ajaran murni Buddha Gotama? Jawaban singkatnya ialah: Tidak! Berikut ini adalah argumentasi yang memperlihatkan mengapa tradisi semacam itu tidak selayaknya tetap diselenggarakan. Jenazah Buddha Gotama sendiri, yang menjadi pendiri Agama Buddha dan menjadi Guru junjungan utama, hanya disemayamkan selama tujuh hari. Lalu, dengan alasan apakah kita pantas untuk menyimpan jenazah bhikkhu guru kita, betapa pun dekat hubungan kita dengannya dan betapa pun besar jasa beliau kepada kita, dalam jangka waktu yang melebihi penyimpanan jenazah Sang Buddha?

Dalam berbuat sesuatu, umat Buddha tidak sepantasnya melangkahi Sang Buddha. Tradisi penyimpanan jenazah dalam waktu yang lebih lama cenderung menciptakan ‘iklim’ yang kurang baik, yang membuat banyak pihak berusaha untuk saling berjor-joran. Waktu penyimpanan yang semakin lama dijadikan sebagai lambang kebesaran Pâramî (Kesempurnaan) yang telah ditimbun oleh bhikkhu guru mereka. Ini tidak begitu menjadi masalah apabila mereka mempunyai anggaran yang memadai. Celakanya, jika tidak, mereka harus berpontang-panting menghimpun dâna hanya sekadar untuk keperluan menyimpan jenazah. Ini adalah argumentasi utama yang tidak menyetujui diselenggarakannya upacara kematian yang terlalu lama.

Berikut ini akan ditambahkan beberapa argumentasi lain sesuai dengan alasan yang melatar-belakanginya. Pertama, dua puluh lima abad yang lampau, ketika sarana transportasi dan peralatan perabuan tidak sebegitu maju seperti sekarang ini, waktu tujuh hari sudah terlalu cukup untuk memperabukan jenazah Buddha Gotama. Masuk akalkah jika pada zaman sekarang ini kita menuntut peluang waktu yang lebih lama untuk dapat menyelenggarakan upacara perabuan? Kedua, memang tidak dapat dibantah bahwa pembacaan kitab-kitab Abhidhamma merupakan suatu kebajikan. Namun, alangkah lebih baik jika anggaran ini dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya menarik minat umat Buddha untuk memahami makna keagamaan yang terkandung dalam kitab-kitab Abhidhamma, bukan hanya sekadar mendengarkan penguncarannya dalam Bahasa Pâli yang belum tentu dimengerti artinya; mendirikan yayasan-yayasan yang ditujukan untuk menunjang perkembangan Agama Buddha; memberikan bea-siswa kepada para bhikkhu dan sâmanera dari pelosok untuk memperoleh pendidikan keagamaan yang layak; dan sebagainya. Ketiga, Sang Buddha senantiasa mengajarkan umat-Nya untuk tidak terbenam dalam kerinduan serta kemelekatan entah pada apa pun dan kepada siapa pun –termasuk kepada Beliau sendiri.

Ketika Ânanda Thera menanyakan bagaimana selayaknya jenazah Sang Buddha diperlakukan, Beliau menasihatkan agar tidak terlalu merepotkan diri dalam hal ini. Lebih baik berjuang demi kesucian dan pembebasan bagi diri sendiri. Perlu disadari bahwa meskipun jenazah guru yang mereka cintai disimpan dalam waktu yang lama, suatu saat nanti pasti akan terpisahkan kembali. Alih-alih mengumbar emosi kerinduan, apakah tidak lebih tepat jika menggunakan waktu yang berharga ini untuk melaksanakan petunjuk serta nasihat mereka? Keempat, sangatlah tidak etis untuk memanfaatkan jenazah orang yang telah meninggal, apalagi guru yang kita junjung tinggi, sebagai alat untuk menghimpun dâna –kendati ini selanjutnya dipakai untuk keperluan umum. Lebih baik mati kelaparan daripada “mencari makan dari mayat”.

Untuk dapat menghapus tradisi yang telah berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun ini, masyarakat Thai membutuhkan teladan nyata dari para sesepuh yang berkharisma tinggi. Beberapa guru meditasi yang terkenal telah memulai upaya ini dengan berpesan kepada para murid mereka agar segera memperabukan jenazah mereka secepat mungkin. Membenahi apa yang telah lama menyimpang itu tidaklah segampang meluruskan anak panah. Dengan menyadari kenyataan ini, umat Buddha entah di mana pun berada hendaknya senantiasa bersikap tanggap dalam meluruskan apa yang tidak sesuai dengan ajaran murni Sang Buddha sejak dari dini. Janganlah salah menyangka upaya semacam ini didasari niat buruk untuk sengaja mencari-cari masalah atas hal-hal yang sepele.


 
Back
Top