YUmee_miru
Well-known member
Story by Daina Amarea winata.
-Nocturnight- The Forgotten Stories
+++++
ReturnEr.
Aku akan terus mencintaimu meski raga ini hancur sekalipun.
...
Usia 6 tahun.
Dia adik perempuanku,
Tidak terhitung berapa kali aku melihatnya menangis karena kesepian.
Kelihatannya dunia itu memang terlalu berat baginya.
Aku mengepalkan tanganku, tidak ingin terlihat lemah dihadapannya.
Tidak boleh, adalah tugasku untuk terus memberikannya kekuatan, aku tidak boleh meneteskan sedikitpun airmata, meskipun aku tahu tidak ada sebab lain aku akan menangis kecuali karena aku turut bersedih atas kesedihannya.
‘Tidak boleh punya teman.’
‘Sekolah dirumah saja, kita punya uang.’
‘Jangan ajak orang asing kerumah! Kau mengerti?’
Aku tahu ini salahku, Karena aku pergi terlalu awal, Tapi tetap saja,
Ini terlalu berat, untuk anak berusia 6 tahun, ini terlewat berat…
Usia 8 tahun.
Aku bisa merasakan semua perasaannya hanya dengan menyentuhnya.
Dan mereka tidak bisa.
Tidak ada satupun hal didunia ini yang lebih kucintai kecuali dirinya, bahkan melebihi diriku sendiri,
Aku lebih tua 7 tahun darinya, dia tidak akan pernah tahu, betapa aku mencintainya,
Tidak akan pernah bisa terbayangkan betapa bahagianya aku pada saat ia lahir,
Aku mencintainya, Sejak ia masih tertidur di rahim ibu kami,
Sampai ia membuka mata untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa aku telah tersihir.
Karena itu, sejauh apapun kami berpisah, aku pasti akan kembali untuknya.
Dia begitu lemah, dia tidak bisa tidur sebelum aku menyanyikan lagu pengantar tidurnya,
Atau membacakannya buku buku.
“Kenapa semua orang melihat kita dengan pandangan begitu, kak?” Tanya adikku,
“Sudahlah, jangan pedulikan mereka,” Bujukku, “Kita main didalam saja.”
Kutarik tangannya, Meninggalkan tatapan orang orang dibelakang kami.
Mata mata yang menatap dengan aneh saat kami berkomunikasi, setengah kasihan, setengah khawatir, setengah ngeri.
Saat kami berjalan memasuki halaman rumah,
Adikku menggenggam tanganku erat erat, seperti takut untuk dilepaskan.
Usia 9 tahun.
“Mama sudah bilang, kan, lebih baik kau sekolah dirumah saja.”
Bukan itu yang ia mau, mama… Aku sudah mengatakan berkali kali, itu tidak akan berjalan lancar,
Mama dan papa tidak pernah mendukungnya seperti yang seharusnya dilakukan orang tua.
Kalian para orang dewasa berpikir bahwa keputusan kalianlah yang paling tepat.
Manusia sekecil apapun memiliki hak mengatakan apa yg mereka inginkan,
bukan perintah yg adikku butuhkan, melainkan dukungan kalian!
Ah, sudahlah, kalian tidak akan pernah mendengarkanku.
Bagi kalian kami sama saja, anak kecil semua.
Adikku tetap bertahan disekolah walau penyiksaan terhadapnya semakin menjadi jadi,
“Aku akan memberitahukan kalian pada kakakku…” Hanya itu yang keluar dari mulutnya setiap kali ia merasa putus asa. “Kakakku tidak akan membiarkan aku bersedih, Dia akan membalas kalian suatu saat.”
Walau awalnya ia ditertawakan karena kenyataannya aku tidak berbuat apa apa, mereka tidak tahu,
Bahwa semakin kuat perasaannya maka akan semakin kuat pula aku.
Hingga pada suatu hari aku benar benar mengajaknya melakukan sesuatu yang mengerikan pada mereka, Adikku tersenyum bahagia. “Inilah akibatnya kalian menyiksaku, kakakku marah kan!”
2 hari kemudian adikku memilih keluar dari sekolah dan memulai kehidupan sekolahnya dirumah.
Usia 11 tahun.
Kukira segalanya akan berjalan dengan baik saat kami memulai kehidupan sekolah dirumah saja, tapi ternyata malah semakin berantakan, Selama beberapa tahun tanpa teman sebaya untuk bicara, Tidak melihat dunia luar, Orang tua kami yang sibuk bekerja, Sikap kaku dan formal para pelayan, Tanpa siapa siapa,
Aku bahkan bisa merasakan kesedihannya setiap kali aku memeluknya,
“Orang tua Dian melarangku bermain dengan anaknya…” Ceritanya pada suatu hari, menyebutkan nama temannya, “Mereka bilang tidak mau Dian bergaul dengan anak yang tidak jelas sekolahnya.”
Aku mengangguk angguk mendengar ceritanya, “Kita tidak butuh dia,” Hiburku,
“Mereka juga mengatakan aku seperti anak kelainan jiwa, Atau mungkin keterbelakangan mental, Aku juga mendengar Bude juga bilang gitu ke mama, Paman dan para sepupu juga,”
“Masih banyak anak lain yang mau berteman denganmu, kamu anak baik, Tidak usah dengarkan mereka,” Aku mengelus kepalanya saat ia menggunakan pahaku sebagai bantalnya.
“Kakak selalu bilang begitu…” Ia mengeluh. “Tapi mereka bilang, aku menakutkan…”
Usia 14 tahun
“Kakak…” Ia memanggilku dengan nada suara mesra memanja, “Aku tidak butuh kekasih, aku tidak butuh siapapun, selain kakak disini… Aku…”
“Tidurlah,” Tukasku tidak peduli, Menarik selimut yang menutupi tubuh kami berdua,
“Kakak akan menjagamu.”
Usia 20 tahun
Aku bersumpah untuk selalu bersamanya walau raga ini hancur sekalipun, Meski harga yang kubayar akan teramat sangat mahal.
Aku tidak peduli meski aku terus terperangkap didalam dunia yang gersang ini dan tidak bisa pergi ke surga.
Kini ia telah menjadi istri dan ibu seseorang,
Namun jika kau melihat lebih jelas, tidak ada yang berubah dari adik kecilku sekarang.
Kecuali, ia lebih pintar menyembunyikan ikatan diantara kami berdua.
Keluarga kami berkumpul untuk merayakan hari yang bahagia ini, pada saat ia melahirkan sesuatu yang baru, ia memberi nama malaikat mungil itu nama yg sama denganku.
Mama dan papa berkata padanya,
“Selama ini kami selalu bersikap keras dan seakan mengurungmu… kami hanya tidak mau kehilangan hari bahagia seperti ini dimasa depan, bagaimanapun, kau anak perempuan kami satu satunya”
Adikku tersenyum samar, “Tidak apa apa, mama, papa, aku memang telah melewati masa masa yang berat, tapi percayalah, sekarang aku bahagia,” Ia mengusap pipi bayinya, Wajahnya merona dan matanya menampakkan pendar pendar kebahagiaan.
“Kalau saja Ari tidak meninggal pada saat kamu masih kecil, Mungkin saja kami juga bisa melihatnya menimang bayinya seperti kamu menimang bayimu saat ini,” Kata mama lirih sambil mengusap air matanya.
Adikku melirik diam diam kearahku yang duduk disampingnya.
Aku menyeringai.
“Kakak tidak pernah mati,” Adikku berkata lembut. “Kakak akan selalu hidup, Didalam diriku.”
FIN.
-Nocturnight- The Forgotten Stories
+++++
ReturnEr.

Aku akan terus mencintaimu meski raga ini hancur sekalipun.
...
Usia 6 tahun.
Dia adik perempuanku,
Tidak terhitung berapa kali aku melihatnya menangis karena kesepian.
Kelihatannya dunia itu memang terlalu berat baginya.
Aku mengepalkan tanganku, tidak ingin terlihat lemah dihadapannya.
Tidak boleh, adalah tugasku untuk terus memberikannya kekuatan, aku tidak boleh meneteskan sedikitpun airmata, meskipun aku tahu tidak ada sebab lain aku akan menangis kecuali karena aku turut bersedih atas kesedihannya.
‘Tidak boleh punya teman.’
‘Sekolah dirumah saja, kita punya uang.’
‘Jangan ajak orang asing kerumah! Kau mengerti?’
Aku tahu ini salahku, Karena aku pergi terlalu awal, Tapi tetap saja,
Ini terlalu berat, untuk anak berusia 6 tahun, ini terlewat berat…
Usia 8 tahun.
Aku bisa merasakan semua perasaannya hanya dengan menyentuhnya.
Dan mereka tidak bisa.
Tidak ada satupun hal didunia ini yang lebih kucintai kecuali dirinya, bahkan melebihi diriku sendiri,
Aku lebih tua 7 tahun darinya, dia tidak akan pernah tahu, betapa aku mencintainya,
Tidak akan pernah bisa terbayangkan betapa bahagianya aku pada saat ia lahir,
Aku mencintainya, Sejak ia masih tertidur di rahim ibu kami,
Sampai ia membuka mata untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa aku telah tersihir.
Karena itu, sejauh apapun kami berpisah, aku pasti akan kembali untuknya.
Dia begitu lemah, dia tidak bisa tidur sebelum aku menyanyikan lagu pengantar tidurnya,
Atau membacakannya buku buku.
“Kenapa semua orang melihat kita dengan pandangan begitu, kak?” Tanya adikku,
“Sudahlah, jangan pedulikan mereka,” Bujukku, “Kita main didalam saja.”
Kutarik tangannya, Meninggalkan tatapan orang orang dibelakang kami.
Mata mata yang menatap dengan aneh saat kami berkomunikasi, setengah kasihan, setengah khawatir, setengah ngeri.
Saat kami berjalan memasuki halaman rumah,
Adikku menggenggam tanganku erat erat, seperti takut untuk dilepaskan.
Usia 9 tahun.
“Mama sudah bilang, kan, lebih baik kau sekolah dirumah saja.”
Bukan itu yang ia mau, mama… Aku sudah mengatakan berkali kali, itu tidak akan berjalan lancar,
Mama dan papa tidak pernah mendukungnya seperti yang seharusnya dilakukan orang tua.
Kalian para orang dewasa berpikir bahwa keputusan kalianlah yang paling tepat.
Manusia sekecil apapun memiliki hak mengatakan apa yg mereka inginkan,
bukan perintah yg adikku butuhkan, melainkan dukungan kalian!
Ah, sudahlah, kalian tidak akan pernah mendengarkanku.
Bagi kalian kami sama saja, anak kecil semua.
Adikku tetap bertahan disekolah walau penyiksaan terhadapnya semakin menjadi jadi,
“Aku akan memberitahukan kalian pada kakakku…” Hanya itu yang keluar dari mulutnya setiap kali ia merasa putus asa. “Kakakku tidak akan membiarkan aku bersedih, Dia akan membalas kalian suatu saat.”
Walau awalnya ia ditertawakan karena kenyataannya aku tidak berbuat apa apa, mereka tidak tahu,
Bahwa semakin kuat perasaannya maka akan semakin kuat pula aku.
Hingga pada suatu hari aku benar benar mengajaknya melakukan sesuatu yang mengerikan pada mereka, Adikku tersenyum bahagia. “Inilah akibatnya kalian menyiksaku, kakakku marah kan!”
2 hari kemudian adikku memilih keluar dari sekolah dan memulai kehidupan sekolahnya dirumah.
Usia 11 tahun.
Kukira segalanya akan berjalan dengan baik saat kami memulai kehidupan sekolah dirumah saja, tapi ternyata malah semakin berantakan, Selama beberapa tahun tanpa teman sebaya untuk bicara, Tidak melihat dunia luar, Orang tua kami yang sibuk bekerja, Sikap kaku dan formal para pelayan, Tanpa siapa siapa,
Aku bahkan bisa merasakan kesedihannya setiap kali aku memeluknya,
“Orang tua Dian melarangku bermain dengan anaknya…” Ceritanya pada suatu hari, menyebutkan nama temannya, “Mereka bilang tidak mau Dian bergaul dengan anak yang tidak jelas sekolahnya.”
Aku mengangguk angguk mendengar ceritanya, “Kita tidak butuh dia,” Hiburku,
“Mereka juga mengatakan aku seperti anak kelainan jiwa, Atau mungkin keterbelakangan mental, Aku juga mendengar Bude juga bilang gitu ke mama, Paman dan para sepupu juga,”
“Masih banyak anak lain yang mau berteman denganmu, kamu anak baik, Tidak usah dengarkan mereka,” Aku mengelus kepalanya saat ia menggunakan pahaku sebagai bantalnya.
“Kakak selalu bilang begitu…” Ia mengeluh. “Tapi mereka bilang, aku menakutkan…”
Usia 14 tahun
“Kakak…” Ia memanggilku dengan nada suara mesra memanja, “Aku tidak butuh kekasih, aku tidak butuh siapapun, selain kakak disini… Aku…”
“Tidurlah,” Tukasku tidak peduli, Menarik selimut yang menutupi tubuh kami berdua,
“Kakak akan menjagamu.”
Usia 20 tahun
Aku bersumpah untuk selalu bersamanya walau raga ini hancur sekalipun, Meski harga yang kubayar akan teramat sangat mahal.
Aku tidak peduli meski aku terus terperangkap didalam dunia yang gersang ini dan tidak bisa pergi ke surga.
Kini ia telah menjadi istri dan ibu seseorang,
Namun jika kau melihat lebih jelas, tidak ada yang berubah dari adik kecilku sekarang.
Kecuali, ia lebih pintar menyembunyikan ikatan diantara kami berdua.
Keluarga kami berkumpul untuk merayakan hari yang bahagia ini, pada saat ia melahirkan sesuatu yang baru, ia memberi nama malaikat mungil itu nama yg sama denganku.
Mama dan papa berkata padanya,
“Selama ini kami selalu bersikap keras dan seakan mengurungmu… kami hanya tidak mau kehilangan hari bahagia seperti ini dimasa depan, bagaimanapun, kau anak perempuan kami satu satunya”
Adikku tersenyum samar, “Tidak apa apa, mama, papa, aku memang telah melewati masa masa yang berat, tapi percayalah, sekarang aku bahagia,” Ia mengusap pipi bayinya, Wajahnya merona dan matanya menampakkan pendar pendar kebahagiaan.
“Kalau saja Ari tidak meninggal pada saat kamu masih kecil, Mungkin saja kami juga bisa melihatnya menimang bayinya seperti kamu menimang bayimu saat ini,” Kata mama lirih sambil mengusap air matanya.
Adikku melirik diam diam kearahku yang duduk disampingnya.
Aku menyeringai.
“Kakak tidak pernah mati,” Adikku berkata lembut. “Kakak akan selalu hidup, Didalam diriku.”
FIN.
Last edited: